Pada
era tahun 1935 batik Kudus sudah mulai ada dan berkembang pesat pada
era 1970an. Corak dan motif batik Kudus sangat beragam karena pada masa
itu pengrajin batik Kudus ada yang dari etnis keturunan Cina dan
pengrajin penduduk asli atau pribumi.
Batik Kudus coraknya lebih condong ke batik pesisiran ada kemiripan
dengan batik Pekalongan maupun Lasem karena secara geografis Kudus
berdekatan. Batik Kudus yang dibuat oleh pengrajin Cina dikenal dengan
batik nyonya atau batik saudagaran, yang mempunyai ciri khas kehalusan
dan kerumitannya dengan isen-isennya. Dan kebanyakan dipakai oleh
kalangan menengah ke atas, motif yang dibuat coraknya lebih ke arah
perpaduan antara batik pesisir dan batik mataraman (warna sogan).
Batik Kudus yang dibuat oleh pengrajin asli Kudus atau pribumi
dipengaruhi oleh budaya sekitar dan coraknya juga dipengaruhi batik
pesisiran. Motif yang dibuat mempunyai arti ataupun kegunaan misalnya
untuk acara akad nikah ada corak Kudusan seperti busana kelir, burung
merak dan adapula motif yang bernafaskan budaya Islam atau motif Islamic
Kaligrafi. Motif yang bernafaskan kaligrafi karena dipengaruhi sejarah
walisongo yang berada di Kudus yaitu Sunan Kudus (Syech Dja’far Shodiq)
dan Sunan Muria (Raden Umar Said), corak yang bernafaskan Islam karena
pengrajin batik banyak berkembang disekitar wilayah Sunan Kudus atau
dikenal dengan Kudus Kulon.
Salah satu motif yang juga sangat dikenal di Kudus adalah motif kapal
kandas menurut sejarah yang dituturkan juru kunci Gunung Muria ada
kaitan dengan sejarah kapal dampo awang milik Sampokong yang kandas di
Gunung Muria, menurut sejarahnya pada masa itu terjadi perdebatan antara
Sunan Muria (Raden Umar Said) dengan Sampokong.
Menurut Sampokong gunung yang dilewati adalah merupakan lautan tetapi
Sunan Muria keyakinan itu adalah gunung sampai akhirnya kapal Dampo
Awang kandas di Gunung Muria. Kapal tersebut membawa rempah-rempah dan
tanaman obat-obatan yang sampai sekarang tumbuh subur di Gunung Muria
salah satunya adalah buah parijoto yang diyakini oleh masyarakat sekitar
untuk acara 7 bulanan supaya anaknya bagus rupawan.
Dan
diantara tumbuhan yang ada di Gunung Muria adalah pohon Pakis Haji yang
pada zaman Sunan Muria dipakai sebagai salah satu tongkat Sunan Muria
dan sampai sekarang kayu pakis haji diyakini oleh masyarakat sekitar
bisa mengusir hama salah satunya tikus, karena motif tersebut mempunyai
alur seperti ular dan ukiran seperti kaligrafi.
Pada era 80an Batik Kudus mengalami kemunduran karena sudah tidak ada
pengrajin yang berproduksi lagi karena adanya perkembangan batik
printing maka pengrajin batik Kudus banyak yang gulung tikar dan
akhirnya masyarakat Kudus lebih senang bekerja sebagai buruh pabrik
rokok karena banyaknya industri rokok di Kudus.
Batik Jepara
Batik Jepara telah ada sejak zaman R.A. Kartini, beliau juga yang
turut serta dalam mengenalkan batik Jepara ke dunia luar. Bahkan R.A.
Kartini juga sempat membuat tulisan bertemakan batik dengan bahasa
Belanda. Motif batik daerah Jepara memang mengadopsi unsur-unsur ukiran
khas Jepara, bisa dikatakan lahirnya macam-macam motif batik khas Jepara
adalah untuk memperkokoh budaya Jepara dengan menuangkannya dalam karya
seni yang saling berhubungan. Marik kita simakmakna motif bati Jepara yang telah silisting dibawah ini.
Motif Kembang Setaman
Motif batik Kembang Setaman ini mempunyai makna sebuah taman bunga yang
indah, sehingga motif batik ini selalu berisi aneka bunga serta
kupu-kupu cantik layaknya taman bunga sesungguhnya. Motif Sekar Jagat Bumi Kartini
Motif batik ini sebenarnya adalah pengembangan dari motif yang sudah ada
yakni motif Sekar Jagat. Penambahan kata ‘Kartini’ tak lain adalah agar
motif batik Jepara bisa lebih dikenal banyak orang baik dalam ataupun
luar negeri. Diharapkan imbuhan kata ‘Kartini’ tersebut bisa memberi
dampak yang positif. Motif Elung Bimo Kurdo
Motif batik Jepara Elung Bimo Kurdo menggambarkan Bima, yaitu tokoh dalam pewayangan yang memiliki jiwa yang kuat. Motif Sido Arum
Unsur-unsur tradisional dari motif batik ini memiliki pesan yang dalam
bagi kehidupan manusia, yakni agar setiap jabatan maupun pangkat bisa
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Motif Lung-Lungan
Lain lagi dengan motif batik yang ini dimana motif-motifnya merupakan
terjemahan dari berbagai relief ukiran khas Jepara, khususnya ukiran
khas daerah Senenan. Motif Parang Jeporo
Motif satu ini lebih dikenal dengan sebutan motif Karang Poro. Makna
tersirat dibalik motif batik ini menegaskan bahwa manusia harus selalu
hidup berdampingan sebab manusia merupakan makhluk sosial yang akan
selalu saling membutuhkan satu sama lain.
Terdapat beberapa perbedaan bentuk genting khas Kudus dan genteng khas Jepara. yaitu:
GENTENG KUDUS
Bentuk genteng berbentuk menyerupai daun karena Kudus merupakan Kota Kretek yang bahannya terbuat dari daun-daun tembakau.
Filosofi Genteng khas Kudus, yaitu:
wuwungan atap membentuk daun yang mempunyai maksud sebagai perwujudan hidup harus serta menjaga alam.
GENTENG JEPARA
Genteng berbentuk menyerupai menyerupai motif ukir-ukiran kayu khas Jepara.
berbentuk menyerupai motif pada ukir kayu karena Jepara merupakan Kota
Ukir yang bahannya terbuat dari kayu.
Filosofi Genteng khas Jepara, yaitu:
# Tiga wuwungan atap tidak patah tetapi melengkung yang mempunyai maksud sebagai perwujudan cara hidup yang luwes.
Padureksa kudus merupakan sebuah gapura yang unik di Kudus.
Paduraksa adalah bangunan berbentuk gapura yang memiliki atap penutup,
yang lazim ditemukan dalam arsitektur kuno dan klasik di Jawa dan Bali.
Kegunaan bangunan ini adalah sebagai pembatas sekaligus gerbang akses
penghubung antarkawasan dalam kompleks bangunan khusus. Bangunan ini
biasa dijumpai pada gerbang masuk bangunan-bangunan lama di Jawa dan
Bali, seperti kompleks keraton, makam keramat, masjid, pura, meskipun
pada masa sekarang ada pula rumah kantor taman yang juga menggunakan gapura semacam
ini.
Gapura Padureksan Khas Jepara
Padureksa Jepara merupakan sebuah gapura yang unik di Jepara.
Paduraksa adalah bangunan berbentuk gapura yang memiliki atap penutup,
yang lazim ditemukan dalam arsitektur kuno dan klasik di Jawa dan Bali.
Kegunaan bangunan ini adalah sebagai pembatas sekaligus gerbang akses
penghubung antarkawasan dalam kompleks bangunan khusus. Bangunan ini
biasa dijumpai pada gerbang masuk bangunan-bangunan lama di Jawa dan
Bali, seperti kompleks keraton, makam keramat, masjid, pura, meskipun
pada masa sekarang ada pula rumah kantor taman yang juga menggunakan gapura semacam
ini.
Gapura Candi Bentar ini merupakan desain candi bentar khas Jepara terbukti dengan
adanya candi bentar ini terletak di Pendopo Jepara.
Candi
bentar adalah sebutan bagi bangunan gapura berbentuk dua bangunan
serupa dan sebangun tetapi merupakan simetri cermin yang membatasi sisi
kiri dan kanan pintu masuk. Candi bentar tidak memiliki atap penghubung
di bagian atas, sehingga kedua sisinya terpisah sempurna, dan hanya
terhubung di bagian bawah oleh anak tangga. Bangunan ini lazim disebut
"gerbang terbelah", karena bentuknya seolah-olah menyerupai sebuah
bangunan candi yang dibelah dua secara sempurna. Bangunan gapura tipe
ini terutama banyak dijumpai di Pulau Jawa, Bali, dan Lombok. Bangunan
gerbang terbelah seperti ini diduga muncul pertama kali pada zaman
Majapahit.
Pada aturan zona tata letak istana atau bangunan
penting, baik candi bentar maupun paduraksa merupakan satu kesatuan
rancang arsitektur. Candi bentar merupakan gerbang untuk lingkungan
terluar yang membatasi kawasan luar pura dengan nista mandala (jaba
pisan) zona terluar kompleks pura, sedangkan gerbang kori ageng atau
paduraksa digunakan sebagai gerbang di lingkungan dalam pura, dan
digunakan untuk membatasi zona madya mandala (jaba tengah) dengan utama
mandala (jero) sebagai kawasan tersuci pura Bali. Maka dapat disimpulkan
bahwa baik untuk kompleks pura maupun tempat tinggal, candi bentar
digunakan untuk lingkungan terluar, sedangkan paduraksa untuk lingkungan
dalam.
GERBANG GAPURA CANDI BENTAR KHAS KUDUS
Gapura Candi Bentar ini merupakan desain candi bentar khas Kudus terbukti dengan
adanya candi bentar ini terletak di Masjid Menara Kudus.
Candi
bentar adalah sebutan bagi bangunan gapura berbentuk dua bangunan
serupa dan sebangun tetapi merupakan simetri cermin yang membatasi sisi
kiri dan kanan pintu masuk. Candi bentar tidak memiliki atap penghubung
di bagian atas, sehingga kedua sisinya terpisah sempurna, dan hanya
terhubung di bagian bawah oleh anak tangga. Bangunan ini lazim disebut
"gerbang terbelah", karena bentuknya seolah-olah menyerupai sebuah
bangunan candi yang dibelah dua secara sempurna. Bangunan gapura tipe
ini terutama banyak dijumpai di Pulau Jawa, Bali, dan Lombok. Bangunan
gerbang terbelah seperti ini diduga muncul pertama kali pada zaman
Majapahit.
Pada aturan zona tata letak istana atau bangunan
penting, baik candi bentar maupun paduraksa merupakan satu kesatuan
rancang arsitektur. Candi bentar merupakan gerbang untuk lingkungan
terluar yang membatasi kawasan luar pura dengan nista mandala (jaba
pisan) zona terluar kompleks pura, sedangkan gerbang kori ageng atau
paduraksa digunakan sebagai gerbang di lingkungan dalam pura, dan
digunakan untuk membatasi zona madya mandala (jaba tengah) dengan utama
mandala (jero) sebagai kawasan tersuci pura Bali. Maka dapat disimpulkan
bahwa baik untuk kompleks pura maupun tempat tinggal, candi bentar
digunakan untuk lingkungan terluar, sedangkan paduraksa untuk lingkungan
dalam.